Semarang, UP Radio – Teater Bhumandala program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia Semarang (UPGRIS) baru-baru ini menggelar pementasan drama “Semuan” karya Firza Yudha Arinanto yang di gelar di SMA N 5 Semarang
Dalam pementasan tersebut Bayu sebagai pimpinan Produksi, Silvia berperan sebagai Sandiem, Farah sebagai Pitaloka, Sahra sebagai Marni, Fajar sebagai Damar, Laila sebagai Mbah Dukun, dan Alif sebagai Yatno.
Teater Bhumandala dalam mementaskan naskah Semuan sangat apik sehingga para siswa sangat menikmati pertunjukan hingga usai.

Dalam naskah “Semuan” menceritakan tentang Damar seorang Mahasiswa filsafat berpostur tegap dengan kulit kuning langsat yang baru pulang dari rantauanya di salah satu dusun terpencil di kabupaten Cilacap.
Dia Menempuh Pendidikan filsafat di Universitas PGRI dan ia berpikir secara rasional dan logis serta menolak apa itu pemikiran mistis. Dusun Kendungo yang menjadi latar cerita ini adalah tempat singgah Damar semasa kecil hingga dewasa.
Kepala dusun Kendungo atau kerap disapa Pak Yatno adalah bapak dari Damar, selaku kepala dusun tentu adat istiadat serta tradisi leluhur dijalankan dengan baik oleh Pak Yatno, berkebalikan dengan anaknya Damar yang menepis pemikiran ayahnya yang selalu percaya tradisi leluhur dan mengabaikan rasionalitas dalam menjalankan adat di dusun Kendungo.
Damar juga memiliki ibu namanya Sandiem, beliau orangnya ramah sekali tutur katanya lembut Dan selalu menjadi penengah dikala bapak dan anak itu berdebat tentang apapun itu. Entah Politik, Sosial, Berita Bola bahkan perkara kicaun burung mana yang lebih indah antara love bord atau derkuku.
Saat Damar pulang, bertepatan juga dengan Malam satu suro. Dusun Kendungo melakukan ritual tahunan untuk merayakan tradisi Semuan. Semuan adalah kegiatan larung sesaji dilaut yang berkorban seekor kepala kerbau dengan beraneka kembang tujuh rupa yang akan diberikan kepada Nyi rorokidul selaku penguasa laut selatan.
Satria salah satu siswa SMA N 5 Semarang setelah menyaksikan pementasan menjelaskan jangan terlalu percaya dengan adanya hal-hal yang berbau mistis. “Jika terlalu percaya dengan hal yang berbau takhayul maka akan menjadi orang yang berpengaruh negatif,” tutur Satria.
Firza sebagai penulis lakon sekaligus sutradara bangga dengan karyanya yang bisa dipertunjukan kali pertama di Semarang. “Semoga pementasan ini menjadi pesan moral yang bisa dinikmati oleh para siswa,” tutur Firza.(pai)
