Dewan: Banyak Beasiswa Siswa Miskin Tak Tepat Sasaran di Kota Semarang, Terkendala DTKS

Semarang, UP Radio – Banyak siswa dari keluarga kurang mampu di Semarang menghadapi kendala serius dalam mengakses beasiswa pendidikan yang disediakan pemerintah.

Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang, Siti Roika, mengungkapkan bahwa ribuan siswa miskin tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Kondisi ini menyebabkan mereka tidak memenuhi syarat untuk menerima bantuan beasiswa, meskipun secara riil sangat membutuhkan.

[the_ad id="40097"]
Advertisement

Permasalahan ini mencuat dalam Diskusi Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Semarang yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Kota Semarang.

Siti Roika menegaskan bahwa aturan pusat yang mengharuskan penerima beasiswa terdaftar di DTKS menjadi penghalang utama.

Pihak DPRD berencana memperjuangkan revisi Peraturan Daerah Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Semarang untuk mengatasi masalah ini dan memastikan pemerataan akses beasiswa.

Kendala Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dalam Penyaluran Beasiswa

Penyaluran beasiswa bagi siswa miskin di Semarang terkendala oleh aturan yang mengharuskan penerima terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

“Beasiswa terkendala dengan aturan pusat ya. Jadi, kita ada alokasi yang cukup besar untuk beasiswa, dari SD, SMP, SMA, bahkan kuliah ya. Tapi, syaratnya harus ada di DTKS,” kata dia.

DTKS, yang kini berganti dengan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), di nilai belum mampu mencakup seluruh masyarakat miskin secara akurat. Banyak keluarga yang secara faktual hidup dalam kemiskinan ekstrem, namun tidak terdaftar dalam sistem data tersebut.

Kesenjangan antara data dan realitas lapangan ini berdampak langsung pada akses pendidikan. Banyak siswa miskin yang seharusnya berhak menerima beasiswa justru terhalang, padahal bantuan ini krusial untuk keberlangsungan studi mereka.

Akibatnya, alokasi dana beasiswa yang cukup besar tidak dapat tersalurkan secara optimal kepada mereka yang paling membutuhkan. Ini menjadi perhatian serius bagi DPRD dalam upaya memastikan pemerataan akses pendidikan.

Upaya Legislatif untuk Pemerataan Beasiswa dan Revisi Perda Pendidikan

Menyikapi permasalahan tersebut, DPRD Kota Semarang akan mengambil langkah konkret untuk memastikan beasiswa siswa miskin dapat tersalurkan secara merata. Siti Roika menyatakan bahwa pihaknya akan memperjuangkan pendataan ulang penerima beasiswa melalui revisi Peraturan Daerah Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Semarang.

Rencana pembentukan panitia khusus (pansus) untuk membahas rancangan peraturan daerah (raperda) ini akan dilaksanakan pada akhir September. “Akhir September nanti kami mengadakan pansus membahas raperda (Penyelenggaraan Pendidikan, red.). Kami sudah menerima banyak masukan soal pendidikan,” kata Ika.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Fraksi PKS DPRD Kota Semarang ini menjadi wadah penting untuk menjaring masukan dari berbagai pakar dan pemerhati pendidikan. Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang, Agus Riyanto Slamet, menegaskan komitmen mereka untuk mendorong revisi Perda ini.

Revisi Perda diharapkan dapat menciptakan mekanisme pendataan yang lebih inklusif dan akurat. Tujuannya adalah agar tidak ada lagi siswa miskin yang terlewat dari program beasiswa hanya karena kendala administrasi data.

Selain pembahasan mengenai beasiswa siswa miskin dan DTKS, diskusi penyelenggaraan pendidikan di Kota Semarang juga menyoroti beberapa isu penting lainnya. Salah satu wacana yang muncul adalah pengembalian sistem enam hari sekolah, yang saat ini sebagian besar sekolah menerapkan lima hari sekolah.

Isu lain yang tak kalah penting adalah pembebasan pajak untuk lahan milik yayasan yang dikelola untuk pendidikan.

Anggota DPRD Kota Semarang, Joko Widodo, menjelaskan bahwa yayasan sekolah dapat mengajukan keringanan pembayaran pajak, bahkan ada yang bisa mendapatkan keringanan hingga 90 persen.

Menurut perundangan, tanah tersertifikat wakaf yang digunakan untuk sosial, termasuk ibadah dan bukan untuk kepentingan profit, tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Namun, Joko Widodo menambahkan, sebagian sekolah yang menempati tanah wakaf belum bersertifikat wakaf. Jadi, masih HGB (hak guna bangunan) atau HM (hak milik).

Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan rumah terkait legalitas aset yayasan pendidikan. Penyelesaian masalah sertifikasi wakaf dapat membantu yayasan pendidikan mengurangi beban operasional dan mengalihkan dana tersebut untuk peningkatan kualitas pendidikan. (ksm)

[the_ad id="40099"]
Advertisement