Dewan: Penutupan ‘SK’ Di Semarang Tertinggal Dari Kota Lain

Semarang, UP Radio – Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Agung Budi Margono menilai rencana penutupan lokalisasi Sunan Kuning tertinggal di banding kota lain. Secara kelembagaan, DPRD sebenarnya juga telah sejak lama meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang menutup lokasi esek-esek tersebut

“Kota Semarang termasuk ketinggalan karena sudah banyak daerah lain yang melaksanakan penutupan lokalisasi. Yang pasti kami sudah meminta sejak lama ditutup, termasuk sudah meminta sejak dulu agar dilakukan kajian sosial dan ekonomi jika Sunan Kuning ditutup,” kata Agung, Senin.

Karenanya, kata Agung, ketika Pemkot Semarang menargetkan penutupan Sunan Kuning bisa selesai sebelum 17 Agustus 2019 maka harus benar-benar direalisasikan.

Advertisement

DPRD siap mendorong pihak terkait agar penutupan tersebut tidak lagi menjadi wacana. Terlebih program penutupan lokalisasi bagian dari program nasional Indonesia bersih praktik prostitusi pada 2019.

“Jangan hanya sekadar wacana saja atau rencana yang tak pernah terlaksana,” tegas dia.

Dari sisi payung hukum, Agung juga menyatakan pihaknya siap memberi dukungan merevisi peraturan daerah (perda) soal praktik prostitusi. Menurut dia, perda yang ada saat ini tidak lagi relevan dengan perangkat hukum di atasnya.

Di UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat batas hukuman yakni maksimal enam bulan kurungan dan denda Rp 50 juta. Sementara di Perda No 10 Tahun 1957 tentang Penanggulangan Pelacuran, pelanggar hanya dikenai sanksi jauh dari undang-undang. Hanya didenda Rp 10 ribu.

“Hukumannya terlalu ringan. Sedangkan aturan di atasnya bisa sampai enam bulan kurungan. Sehingga perda kita sudah tidak relevan,” ujar dia.

Selain itu, perda yang ada sudah tidak sesuai dengan kondisi perkembangan saat ini, Perda 10 Tahun 1957 belum menyasar pelanggaran yang memanfaatkan teknologi informasi.

“Perlu ada aturan yang lebih adaptif dengan kondisi saat ini seperti persoalan digital yang belum terwadahi dalam perda tersebut,” kata Agung.

Diakui Agung, hingga sekarang revisi Perda 10 Tahun 1957 belum masuk program legislasi daerah (prolegda). Namun bukan tidak mungkin masuk di tahun depan, apalagi jika ada masukan masyarakat.

Langkah lain, Pemkot Semarang bisa melakukan inisiatif dengan mengawali kajian revisi perda tentang prostitusi.

Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang Laser Narindro memberikan catatan agar langkah yang akan dijalankan Pemkot Semarang bisa menjadi kemaslahatan masyarakat. Bukan malah menimbulkan persoalan baru, khususnya dampak sosial warga maupun wanita pekerja seks (WPS).

“Jangan sampai menimbulkan gesekan antara warga dan pihak pemkot dan benar-benar jadi solusi buat masyarakat sekitar,” tegas dia.

Pemerintah juga harus memperhatikan geliat ekonomi warga pasca penutupan. Sehingga, tidak memberikan dampak negatif atas usaha di lingkungan Sunan Kuning.

“Bisa alih fungsi menjadi daerah wisata seperti wisata kuliner, religi atau sejenisnya. Jadi tidak mematikan pedagang di wilayah lokalisasi. Tapi harus didukung semua pihak,” pungkas dia. (ksm)

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement