Semarang, UP Radio — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti tingginya rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan pada Bank Perkreditan Rakyat, BPR, di wilayah Jawa Tengah dan DIY.
Angka NPL di kedua wilayah ini mencapai sekitar 12 persen, tertinggi secara nasional dan jauh di atas rata-rata nasional.
Kepala OJK Jateng–DIY, Hidayat Prabowo, menyebut kondisi ini membutuhkan perhatian serius dari manajemen BPR, pemegang saham, hingga regulator.
“NPL BPR di Jawa Tengah dan DIY masih berada di atas angka nasional, sekitar 12 persen. Ini menjadi PR besar dan butuh penanganan lebih intensif,” ungkap Hidayat.
Sebagai wilayah dengan jumlah BPR terbanyak di Indonesia—lebih dari 320 BPR—tantangan pengawasan disebut semakin kompleks.
Meski secara umum permodalan BPR masih memenuhi ketentuan modal inti, terdapat sekitar 30 BPR yang mengalami masalah kecukupan modal dan perlu segera melakukan langkah perbaikan.
Kondisi ekonomi pascapandemi juga ikut memengaruhi kemampuan debitur dalam membayar pinjaman, terutama karena sektor riil belum pulih sepenuhnya.
“Pertumbuhan kredit memang ada, tetapi belum cukup kuat untuk menekan angka NPL. Dampak ekonomi setelah Covid-19 masih terasa,” jelas Hidayat.
OJK menerapkan tiga indikator utama pengawasan, yakni permodalan, likuiditas, dan tingkat kesehatan bank.
BPR yang masuk kategori penyehatan akan diawasi ketat dan pemegang saham wajib mengambil langkah korektif.
OJK menargetkan tahun 2026 sebagai momentum memperbaiki kualitas kredit dan memperkuat peran BPR dalam mendukung pembiayaan UMKM.
“Sejak awal 2026, kami akan mendorong strategi yang lebih agresif untuk menurunkan NPL,” tegasnya.
