Semarang, UP Radio – Kasatlantas Polrestabes Semarang, AKBP Yuswanto Ardi mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab kecelakaan yang melibatkan armada Bus Rapid Transit (BRT) Semarang yaitu faktor pengemudi atau supir yang terburu-buru dalam mengendarai bus.
Hal ini disampaikan Kasatlantas Polrestabes Semarang, AKBP Yuswanto Ardi dalam rangkaian acara Milenial Road Safety bersama 199 sopir BRT Trans Semarang di UTC Semarang.
Menurut AKBP Ardi, sebagai transportasi massal andalan Kota Semarang, BRT Trans Semarang perlu memperbaiki standar operasional prosedur (SOP) guna mengantisipasi kejadian kecelakaan di kemudian hari.
BRT Trans Semarang juga perlu mewujudkan pelayanan transportasi yang aman, nyaman, murah, cepat, dan membuat masyarakat semakin senang, serta meninggalkan kendaraan pribadi.
“Jika itu semakin dipenuhi, orang semakin senang menggunakan transportasi publik, kendaraan pribadi semakin ditinggalkan, kemacetan semakin berkurang, dan tentunya risiko kecelakaan semakin menurun,” ujarnya.
Dia menjelaskan, BRT Trans Semarang harus memperhatikan beberapa standardisasi seperti standar operasional, kompetensi, tarif, emergensi, dan keamanan.
“Standar operasional ini berkaitan pemeliharaan, back office, administrasi, kesejahteraan para pengemudi, koridor, hingga ketaatan pengemudi dalam operasi kendaraan tersebut,” terangnya.
Adapun standar kompetensi, lanjut dia, pengemudi harus bisa mengemudi secara baik. Mereka juga harus menguasai segala sesuatu yang berkait armadanya.
Hal ini guna mengantisipasi apabila ada masalah terkait kendaraan. Selanjutnya, standar tarif adalah hal essensial dalam transportasi publik.
Tarif BRT harus bisa diakomodir dan diterima masyarakat. Sehingga, masyarakat akan lebih memilih menggunakan BRT dari pada kendaraan lainnya.
Kepala BLU Trans Semarang, Ade Bhakti Ariawan menuturkan, pihaknya akan mengkaji kembali standar operasional yang berlaku guna mengurangi kecelakaan armada BRT.
Dia membeberkan, data kecelakaan BRT Semarang, ada 36 kecelakaan pada 2017 yang terhitung mulai Juni 2017, 162 kecelakaan pada 2018, dan beberapa kecelakaan di awal 2019.
Diakuinya, ada penerapan target ritase kepada para pengemudi. Misalnya, Koridor I ditarget 8 rit per hari.
Meski demikian itu bukan standar tetap, pasalnya jika terdapat kemacetan atau yang menghambat laju BRT, target tersebut juga tidak tercapai.
“November 2018 kami menerapkan sistem pembatasan kecepatan. Dengan aturan yang sudah diterapkan ternyata pengemudi masih ada yang melanggar,” katanya.
Dia menuturkan, jika kecepatan armada BRT melebihi 50 kilometer per jam, pengemudi langsung diberikan surat peringatan dan pemotongan ritase dari perusahaan.
Pihaknya pun akan terus berbenah terutama terkait pengemudi bus agar angka kecelakaan yang melibatkan armada BRT semakin berkurang.
Adapun data keluhan terkait pengemudi pada 2017 dan 2018 berada pada posisi teratas. Namun, pada 2019 ini keluhan terkait pengemudi sudah mulai berkurang.
“2019 ini sudah bergeser. Bukan driver lagi, tapi armada. Keluhan driver ada pada posisi dua. Artinya, aturan sudah mulai diterapkan secara baik,” tambahnya.
Dia pun berencana akan memberlakukan rolling jadwal pengemudi agar pelayanan BRT semakin baik.
“Misalnya hari ini driver mengemudikan bus angkatan pertama yakni pukul 05.30. Otomatis dia akan pulang terlebih dahulu daripada yang lain. Nanti hari berikutnya rolling di angkatan kedua, ketiga, dan seterusnya,” terangnya. (ksm)