Dugderan, Tradisi Asli Semarang untuk Sambut Bulan Ramadhan

Semarang, UP Radio – Menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan, masyarakat semarang mempunyai tradisi unik, yaitu Dugderan. Tradisi tua tersebut terus dilakukan setiap tahun, tujuannya untuk mengabarkan waktu datangnya Bulan Ramadan.

Dugderan sendiri merupakan sebuah singkatan yaitu suara Bedug dan petasan, dug-dug-der. Hingga saat ini prosesi tersebut, masih digunakan sebagai alarm untuk mengiringi prosesi sakralnya seperti kala pertama digelar sekitar tahun 1881.

Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi menyebut tradisi dugderan memiliki makna penting yaitu kerukunan warga yang terjalin serta nguri-uri budaya yang tetap terjaga. Yang terpenting adalah mengabarkan akan masuk bulan Ramadan.

Advertisement

“Sangat penting pesannya untuk kota metropolitan ini karena  tidak pernah lupa menjaga budaya, ini sudah dilakukan sejak bupati pertama. Meski kata orang generasi milenial cukup WA ngabari Ramadan tiba, kita tetap dengan dugderan,” katanya di Masjid Agung Kauman, Semarang.

Hendi sapaan akrab Hendrar Prihadi mengungkapkan, tahun ini Dugderan semakin semarak karena menjadi salah satu rangkaian acara HUT Kota Semarang ke 472. Selain memukul beduk dan menyalakan petasan, terdapat karnaval dengan membawa Warak Ngendok.

Warak Ngendok merupakan hewan fantasi yang menyimbolkan kerukunan etnis Ibu Kota Jawa Tengah itu. Hal tersebut terlihat dari kepala Naga menyimbolkan etnis Tionghoa, kemudian badan Unta memyimbolkan Arab, dan kaki Kambing menyimbolkan Jawa.

“Yang berbeda tahun ini, Dugderan berbarengan dengan HUT Kota Semarang, jadi semakin meriah. Kalau prosesinya sama,” ungkap Hendi.

Menurut Hendi dalam prosesi Dugderan dirinya berperan sebagai Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat. Di halaman Balai Kota Semarang ia menabuh bedug sebagai penanda akan masuk bulan Ramadan.

Kanjeng Bupati kemudian menaiki kereta kencana menuju Masjid Agung Kauman Semarang. Dalam perjalanan itu diiringi karnaval dengan peserta yang menggunakan pakaian adat dan membawa replika Warak Ngendok

Kemudian prosesi masuk ke inti dari Dugderan yaitu penyerahan Suhuf Halaqoh dari alim ulama Masjid Kauman kepada Kanjeng Bupati Arya Purbaningrat atau Wali Kota Semarang.

Suhuf Halaqof itu dibacakan kemudian dilakukan pemukulan bedug disertai suara petasan meriam. Dua suara itulah yang menjadi cikal bakal nama acara Dugderan yaitu “dug, dug, dug,” suara bedug dan “der, der, der,” suara meriam atau petasan.

Tidak itu saja, sebelum meninggalkan Masjid Kauman, Wali Kota akan membagikan kue khas Semarang, yaitu Ganjel Rel dan air Khataman Al Quran. Maknanya, warga harus merelakan hal-hal yang mengganjal ketika memasuki bulan Ramadan, dan hati harus bersih maka diminumi air Khataman Al Quran.

Setelah itu Prosesi berlanjut, rombongan Wali Kota akan berjalan menuju Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) untuk menyerahkan Suhuf Halaqoh kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo selaku Raden Mas Tumenggung Probohadikusuma untuk diumumkan ke warga Jawa Tengah akan memasuki Bulan Ramadan.

Muhammad Maulana,20, Warga Lempongsari, Gajah Mungkur Kota Semarang mengaku baru pertama kali melihat tradisi tersebut.

“Seumur-umur baru lihat ini, karena penasaran pengen lihat, Dugderan tradisi yang unik banget karena sebagai tanda masuknya Ramadan,” bebernya. (ksm)

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement