Semarang, UP Radio – Kawasan Kota Lama Semarang tak hanya menyimpan cerita epiknya gedung-gedung tua yang bersejarah. Sebuah sumur tua yang dibuat Belanda, juga menjadi saksi sejarah bermanfaatnya limpahan air bagi warga Kota Lama.
Sumur tua itu terletak di sebelah timur Taman Srigunting, keberadanya ditandai cor semen yang berbatas dengan pagar. Keberadaanya sangat vital tatkala musim kemarau tiba.
Meski terlihat kecil, berukuran sekitar satu meter pada mulut sumur. Sumur itu tidak pernah surut airnya sedikit pun. Meski memasuki puncak musim kemarau pada saat sekarang ini.
Padahal, setiap hari warga umum selalu mengambil air dari sumur tersebut. Baik untuk kebutuhan memasak, mandi, sampai di jual keliling. Tak jarang pula, truk-truk Dinas Pemadam Kebakaran Kota Semarang juga mengambil air dari sumur tua itu.
Legenda sumur tua itu memiliki riwayat perjalanan yang bersejarah, terutama korelasinya dengan penangulangan penyakit yang mewabah di Semarang pada saat Belanda membangun Europees Dorp (perkampungan Eropa) di Kota Lama.
Perkampungan Eropa itu berpindah dari Jepara ke Semarang pada tahun 1708, atas dasar pertimbangan kekuatan pertahanan VOC yang makin terdesak adanya ekspansi Perancis dan Inggris di Asia.
“Sumur tua itu dibangun Belanda tahun 1841, pada saat itu malaria dan kolera mewabah,” tutur Rukardi Achmadi, pegiat sejarah Semarang, Kamis (11/7/2019).
Wabah penyakit itu diakibatkan warga pribumi mengkonsumsi sumber air dangkal yang saat itu di kawasan Kota Lama masih berupa rawa-rawa. Banyak nyamuk Anopheles serta bakteri kolera, wabah itu turut menular pada serdadu VOC di dalam benteng Kota Lama.
“Sejarah mencatat saat itu hampir setiap hari ada warga dan tentara VOC meninggal 150 sampai 200 orang,” katanya.
Karenanya, lanjut Rukardi, Gubernur Hindia Belanda saat itu Cornelius Speelman, memutuskan untuk membuat sumber air higienis berupa artetis untuk kebutuhan publik.
“Sumur itu dibangun di sebelah lapangan timur Paradeplein (sekarang-Taman Srigunting), sumur artetis dengan teknologi bor saat itu. Jadi itu sumur artetis pertama di Semarang untuk publik,” terangnya.
Dari saat itu, warga pribumi dan VOC sama-sama mengkonsumsi air higienis tersebut. Berangsur wabah kolera pun tak menyebar lagi.
Air sumur juga dimanfaatkan para pelaut yang sandar di dermaga Semarang, membawa bergalon-galon untuk dibawa ke kapal sebagai bekal perjalanan layar.
“Sebagai pusat perdagangan, kapal-kapal dulu bisa masuk, lewat Kali Semarang atau sekarang Jembatan Mberok. Pelaut ikut ambil air sumur untuk bekal perjalanan kembali,” jelasnya.
Sumber air sumur tua itu sampai saat ini masih melimpah, menjadi urat nadi kehidupan warga sekitar dalam memanfaatkannya.
Meski berukuran kecil dan diatasnya ada selokan, ajaibnya tak mempengaruhi kualitas baik warna, bau, kejernihan, dan rasa air sumur itu.
“Air sumur bersumber dari dalam, tidak asin meski dekat dengan laut. Ada selokan juga tak berpengaruh,” katanya.
Agus Mulyono (35) salah satu warga Kota Lama mengakui ‘ajaibnya’ keberadaan air sumur tua itu. Saban hari, dengan menggunakan kaleng bekas bergerobak dia selalu mengangkut ratusan liter air.
“Pakai kaleng bekas, bisa bawa 12 kaleng pergerobak. Tiap kaleng isi 25 liter. Dipakai sendiri sama dijual,” kata Agus Mulyono, Kamis (11/7/2019).
Dia juga mengakui, jika air di sumur tua tak pernah habis. Hampir semua pedagang di Kota Lama mengambil air dari situ, sampai para pedagang di Pasar Johar juga turut mengambil pula.
“Warga asrama militer Kota Lama juga ambil sini, musim kemarau banyak ledeng yang mati juga akhirnya warga ambil sini. Di sini bebas, milik umum, ndak usah ijin, boleh ambil sebanyaknya-banyaknya,” bebernya.
Kata Agus, truk pemadam kebakaran juga selalu mengambil air di sumur tua itu. Hanya saja, saat ini jarang ambil karena revitalisasi Kota Lama menjadikan akses kendaraan besar dibatasi.
“Truknya sudah ndak bisa masuk, ada rantai pembatas kendaraan,” katanya.
Sugianto (58), pengunjung Kota Lama Semarang juga mengakui kesejukan dan kejernihan air sumur tua itu. Dengan menggunakan ember untuk menimba air, dia membasuh muka dan kaki.
“Jalan-jalan di Kota Lama lumayan panas, ini baru mencoba air sumur itu. Jernih dan segar,” katanya.
Kekinian, sumur tua legendaris tersebut cukup memprihatinkan. Meski sebagai situs bersejarah, perhatiannya sedikit terlepas dari pembangunan revitalisasi Kota Lama menuju situs kota sejarah warisan dunia (world city heritage) UNESCO.
Terlihat ada dua bangunan toilet, satu toilet konsep manual dan satu toilet lainnya berwarna hijau berkonsep ecogreen di depan sumur. Pemandangan itu cukup mengganggu keberadaan situs sumur tua itu.
Pada pagar sumur juga tertera pamflet sebagai simbol protes para pegiat sejarah Kota Lama, dari terancamnya situs sejarah sumur tua tersebut. Pada pamflet itu tertulis ‘Save Kota Lama’.
“Disayangkan, malah di samping sumur dibangun toilet MCK. Harusnya Pemkot Semarang jeli, jika sumur itu ada riwayat sejarah dalam menyelamatkan warga Semarang dari wabah penyakit saat itu,” tukas Rukardi. (ksm)